“Hidup adalah belajar, proses dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari salah menjadi benar. Proses pembelajaran itu tidak hanya kita tempuh di bangku sekolah, namun juga dalam kehidupan sehari-hari, baik itu dari pengalaman yang kita alami sendiri maupun pengalaman yang dialami orang lain”
Kalimat di atas merupakan salah satu cuplikan komentar dari Liya Susanti, alumni Jurusan Pendidikan Matematika Unesa yang kini sedang meniti studi Master of Education di University of New South Wales (UNSW) Australia.
Liya Susanti memang memiliki bakat cerdas sejak kecil. Hal itu terlihat dari kebiasaan dirinya semasa kecil hingga remaja yang lebih suka membaca buku daripada menghabiskan waktu bermain-main. Saking maniaknya membaca, jika kehabisan buku, dia membaca lagi buku yang sudah pernah dibaca. Satu hal yang berkesan saat remaja adalah masalah teknologi.
Liya cukup membatasi diri dengan penggunaan handpone. Oleh karena itu, sewaktu SMA ia tidak dibelikan handphone. Untuk mengirim pesan singkat (sms) dan telpon ke teman sekolah maupun hanya sekadar bermain game, Liya biasanya pinjam handphone tantenya yang saat itu tinggal satu rumah dengannya. Meski agak membatasi masalah handpone, orang tuanya sangat mendukungnya menggunakan internet untuk keperluan sekolah. "Kalau mau menggunakan internet, saya harus ke Warung Internet (warnet) dengan diantar siapapun orang di rumah yang sedang ada waktu. Kebetulan saat SMA saya belum bisa mengendarai motor sendiri,” paparnya.
Meski tidak difasilitasi dengan handphone sebagaimana remaja seusianya, Liya mengaku entah kenapa saat tidak berkeinginan untuk meminta telepon genggam pribadi ke orang tuanya. Ia merasa biasa-biasa saja meski tidak punya handphone.
Kalau teman-teman SMA menanyakan no handphone, saya berikan nomor handphone tante saya. Saya baru mendapatkan handphone pribadi dari orang tua saat masuk kuliah di Unesa karena tinggal jauh dari keluarga,” ungkap perempuan asli Mojokerto itu. (RUS/bersambung)
Share It On: